Cara Submit Sitemap Blog

Sitemap merupakan informasi tentang halaman pada sebuah website yang diberikan kepada search engine atau mesin pencari untuk bisa di crawl. Sehingga url url yang ada didalam website kita cepat terindeks oleh mesin pencari. Baca juga Cara Submit Blog ke Bing Webmaster




Cara Submit Sitemap Blog -Selain daripada itu sitemap juga merupakan salah satu cara untuk mengoptimalkan SEO pada sebuah website, karena dengan adanya sitemap maka secara tidak langsung seluruh isi yang ada didalam halaman webshte kita dapat dikenali dengan mudah oleh mesin pencari.

Nah sekarang bagaimana Cara Submit Sitemap Blog, berikut langkah-langkahnya :


1. Masuk ke
Alat Webmaster dengan menggunakan akun anda
2. Klick website yang akan di Submit
3. Lalu pilih Konfigurasi Situs
4. Lalu Klick Peta Situs
5. Klick Tambahkan/Uji Peta Situs
6. Copy dan paste salah satu kode dibawah ini lalu masukan pada kolom url yang kosong

Masukan kode dibawah ini, apabila kurang dari 500 postingan
atom.xml?redirect=false&start-index=1&max-results=500
Masukan kode dibawah ini, apabila lebih dari 500 postingan
atom.xml?redirect=false&start-index=501&max-results=1000
Masukan kode dibawah ini, apabila lebih dari 1000 postingan
atom.xml?redirect=false&start-index=1001&max-results=1500 
7. Klick tombol Mengirim Peta Situs
8. Selesai
Itulah cara saya, jika di blog lain saya lum tau mungkin sama..wkwkwk ngopy punya saya mungkin..bcanda..selamat berkarya dan sukses selalu..

Read more: http://tanyajawabsemua.blogspot.com/2012/07/cara-submit-sitemap-blog.html#ixzz2ON0i0BPz
 

Kerajaan Kediri

Kerajaan Kadiri

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Panjalu, Kediri
Kediri Kingdom id.svg
Kerajaan Janggala dan Panjalu (Kediri), kemudian bersatu menjadi Kerajaan Kediri
Berdiri 1042-1222
Didahului oleh Kahuripan
Digantikan oleh Singasari
Ibu kota Daha, Dahanapura
Bahasa Jawa Kuna
Agama Hindu
Buddha
Pemerintahan
-Raja pertama
-Raja terakhir
Monarki
Sri Samarawijaya (1042-?)
Kertajaya (1194-1222)
Jayakatwang (1292-1293)
Sejarah
-Dibagi dari Kahuripan
-Bergabung kembali dengan Janggala
-Kakawin Bhāratayuddha selesai ditulis
-Runtuh oleh pemberontakan Ken Arok

1042

antara 1116-1135


1157


1222
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.

Daftar isi

Latar Belakang Kerajaan Kediri


Arca Wishnu, berasal dari Kediri, abad ke-12 dan ke-13.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Perkembangan Kediri

Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.

Karya Sastra Zaman Kadiri

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Runtuhnya Kadiri


Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.

Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri

Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah di Daha, ibu kota Kadiri:

1. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh

Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.

2. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu

3. Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari

Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:

4. Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri

Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.

5. Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit

Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang pernah menjabat ialah:
  1. Jayanagara 1295-1309 Nagarakretagama.47:2; Prasasti Sukamerta - didampingi Patih Lembu Sora.
  2. Rajadewi 1309-1375 Pararaton.27:15; 29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
  3. Indudewi 1375-1415 Pararaton.29:19; 31:10,21
  4. Suhita 1415-1429 ?
  5. Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8; 31:34; 32:18; Waringin Pitu
  6. Manggalawardhani 1464-1474 Prasasti Trailokyapuri

6. Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit

Menurut Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.
 

kerajaan sunda

Kerajaan Sunda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kerajaan Sunda
Tarumanagara 932–1579 Flag of the Sultanate of Banten.svg

Kesultanan Demak
Lokasi Kerajaan Sunda
Wilayah Kerajaan Sunda
Ibu kota Berpindah-pindah antara Pajajaran, dan Kawali (Galuh). Pernah juga di Saunggalah (Kuningan)
Bahasa Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Melayu Kuno
Agama Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan
Pemerintahan Monarki
Sejarah
 - Prasasti Kebonkopi II 932
 - invansi Banten 1579
Mata uang Mata uang emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia .png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)

Gunung Pulosari, tempat kramat kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerjaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha,[1] kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.[2]
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.

Daftar isi

Catatan sejarah


Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan.[3] Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran.

Catatan sejarah dari Cina

Menurut Hirth dan Rockhill,[4] ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."

Catatan sejarah dari Eropa

Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."

Temuan arkeologi

Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
Situs-situs arkeologi lain yang berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Sunda, masih dapat ditelusuri terutama pada kawasan muara Sungai Ciliwung termasuk situs Sangiang di daerah Pulo Gadung. Hal ini mengingat jalur sungai merupakan salah satu alat transportasi utama pada masa tersebut.[5]

Naskah Kuno

Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[6] antaranya naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.[7]

Berdirinya kerajaan Sunda

Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya".[8] Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya.[3] Sementara dari sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to kemudian dirujuk kepada Sunda.[9]
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis, menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Wilayah kekuasaan

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Masa penurunan

Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.[rujukan?]

Persekutuan antara Sunda dan Galuh

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.[rujukan?]
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.[rujukan?]
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.[rujukan?]
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.[rujukan?]
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).[rujukan?]
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.[rujukan?]
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).[rujukan?]
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).[rujukan?]
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.[rujukan?]
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).[rujukan?]

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482).[rujukan?]
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.[rujukan?]

Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh

Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada 4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nesional dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama berisi tulisan sebagai berikut[10]:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Prasasti lain yang menyebut raja Sunda adalah Prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor. Berdasarkan Prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota Pajajaran.[11] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno. Prasati ini dibuat oleh Prabu Sanghiang Surawisesa (yang melakukan perjanjian dengan Portugis) dan menceritakan kemashuran ayahandanya tercinta (Sri Baduga Maharaja) sebagai berikut:
Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum. Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi".
Sayang sekali tidak/belum ditemukan prasasti-prasasti lainnya yang menyebutkan nama-nama raja Sunda setelah masa raja terakhir Tarumanagara sampai masa Sri Jayabupati dan antara masa Sri Jayabupati dan Rahiyang Niskala Watu Kancana. Namun demikian nama-nama raja Sunda lainnya hanya ditemukan pada naskah-naskah kuno.
Naskah kuno Fragmen Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional Kropak 406) menyebutkan silsilah raja-raja Sunda mulai dari Tarusbawa, penerus raja terakhir Tarumanagara, dengan penerusnya mulai dari Maharaja Harisdarma, Rahyang Tamperan, Rahyang Banga, Rahyangta Wuwus, Prebu Sanghyang, Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Tasik Panjang, Sang Winduraja, sampai akhirnya kepada Rakean Darmasiksa.
Naskah kuno Carita Parahyangan (koleksi Perpustakaan Nasional) menyebutkan silsilah raja setelah masa Tarumanagara. Yang pertama disebutkan adalah Tohaan di Sunda (Tarusbawa). Berikutnya disebutkan nama-nama raja penerusnya seperti Sanjaya, Prabu Maharaja Lingga Buana, raja Sunda yang gugur dikhianati di Bubat (Jawa Timur) yang merupakan ayahnya Rahiyang Niskala Wastu Kancana, sampai Surawisesa.
Sedangkan nama-nama raja penerus Surawisesa yang berperang dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dapat ditemukan dalam sejarah Banten.
Tahun-tahun masa pemerintaha para raja Sunda secara lebh terperinci dapat ditemukan pada naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
  1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
  2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
  3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
  4. Rakeyan Banga (739 - 766)
  5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
  6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
  7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
  8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
  9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
  10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
  11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
  12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
  13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
  14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
  15. Munding Ganawirya (964 - 973)
  16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
  17. Brajawisésa (989 - 1012)
  18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
  19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
  20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
  21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
  22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
  23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
  24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
  25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
  26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
  27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
  28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
  32. Prabu Bunisora (1357-1371)
  33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
  34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
  35. Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
  36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
  37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
  38. Prabu Sakti (1543-1551)
  39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
  40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

Hubungan dengan kerajaan lain

Singasari

Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.[rujukan?]

Majapahit

Menurut Kidung Sunda, Majapahit berusaha untuk menaklukan Kerajaan Sunda dan beberapa kali melakukan penyerangan tapi berhasil digagalkan. Upaya terakhir Mejapahit untuk memperluas kekuasaannya adalah dengan upaya penyatuan melalui perkawinan antara raja Hayam Wuruk dari Majapahit dan putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda tapi usaha ini pun gagal dan berkahir dengan tragedi Bubat.

Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris,[rujukan?] Perancis[rujukan?] dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [12](yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
 

Total Tayangan Halaman